MMAS

MMAS
Bersama Sastrawan Agus R Sarjono

Kamis, 06 Agustus 2009

Cerpen


ADA GULA ADA SEMUT
Karya: Muhammad Arifai, S.Pd

Kota semut yang semula tenang dengan semboyannya “Ada gula ada semut”, kali ini mulai geger akibat adanya berita telah muncul gula model baru yang rasanya sangat manis dan super lezat. Bukan hanya itu, konon kabarnya gula tersebut mampu membantu para warga semut yang berprofesi sebagai guru sehingga tidak perlu lagi mengusahakan penghasilan tambahan setiap bulannya (misalnya mengambil kredit di Bank atau koperasi untuk menambah-nambah penghasilan/gaji mereka). Namun untuk mendapatkan gula sertifikasi tersebut, diperlukan persyaratan yang tidak mudah, bahkan cenderung berbelit dan sulit.
Hal itulah yang dirisaukan oleh banyak kalangan guru di kota semut. Mereka semua ingin segera mendapatkan gula sertifikasi akan tetapi banyak yang tidak mendapat kesempatan untuk mendapatkannya. Hanya mereka yang dipanggil oleh pihak penguasa yang boleh ikut. Akibatnya banyak guru di kota semut tidak bergairah menjalankan tugasnya. Mereka hanya bergairah membicarakan kesempatan ikut berkompetisi mendapatkan gula sertifikasi. Bagi semut yang namanya dipanggil memasukkan portofolio, senanglah mereka dalam ketenangan menyusun portofolio. namun ada juga yang namanya dinyatakan ikut serttifikasi tetapi malah tidak tenang. Itulah yang belum cukup memiliki angka sertifikasi sehingga terpaksa harus ke sana-ke mari mencari sertifikat pelatihan atau piagam seminar.Akibatnya tugas pokoknya sebagai guru menjadi tidak terlaksana. Hari-harinya hanya disibukkan oleh kegiatan mencari dan memburu sertifikat. Untunglah banyak instansi melaksanakan seminar dadakan dengan biaya pendaftaran peserta yang lumayan tinggi. Tapi mengingat manis dan lezatnya gula sertifikasi, masalah uang pendaftaran peserta seminar pun tak jadi masalah. Biarlah pinjam sama koperasi untuk biaya ikut seminar yang penting dapat angka kredit yang cukup untuk ikut sertifikasi. Nantilah kalau sudah terima gula-gula sertifikasi, baru uang pinjaman itu dikembalikan. Itulah hasil pemikiran para semut-semut merah yang makin menyemut ingin ikut berkompetisi mendapatkan gula-gula sertifikasi.
”Sudah selesai portofolionya?” Si Hitam mendekati temannya yang sedang asyik masyuk didepan komputer.
”Apa itu portofolio? kedengarannya kok seperti nama penyakit?”
”Akh, kamu ini. Makanya bergaul dong. Masa portofolio saja tidak tahu. Lihat tuh teman-teman lainnya dari tadi sibuk mengopi.
”Eh, oh...ya, tolong minta segelas kopinya ya?”
”Uh... dasar tulalit. Maksud saya mengopi sertifikat, piagam, SK, dll. Bukan minum kopi hitam seperti mulutmu itu.”
”Akh, kamu itu, gitu aja kok sewot. Ntar ndak tambah manis lho?”
Melihat gelagat yang tidak mengenakan itu, Jumi langsung keluar meinggalkan Samson yang makin asyik dengan game terbarunya.
****
Ternyata dunia semut tidak hanya dihebohkan oleh kehadiran gula sertifikasi. Mereka juga heboh karena tidak lama lagi mereka akan melakukan pemilihan calon anggota legislatif kota Semut (Calekos). Beberapa partai politik sudah gencar melakukan kampanye dengan menebar poster di berbagai kota. Kota semut menjadi semarak dengan kehadiran poster para Calekos dari berbagai parpol yang berwarna-warni. Pohon-pohon yang dulunya ditempati oleh makhluk halus menurut beberapa warga kota semut, kini berganti menjadi tempat poster para Calekos yang rata-rata Sarjana.
Sementara warga lainnya yang berprofesi PNS sibuk mempersiapkan berkas portofolio, warga lainnya sibuk memikirkan siapa yang paling pas duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Semut tanpa harus khawatir jangan-jangan korupsi.
”Pak, mau ikut seminar. Uang pendaftarannya gratis. Sertifikatnya bernilai 40 angka kredit.”
”Mau...mau. Tolong saya didaftar. Tapi, apa betul gratis?”
“Jelas, Pak Mut. Ini kan disponsori oleh salah seorang Caleg handal di kota kita.”
“ Wah, kalau begitu saya ndak jadi ikut.”
“Kenapa Pak, ini kesempatan bagus lho Pak. Mumpung gratis. Coba, mana ada sih yang gratis di zaman yang krisis begini?”
”Nah, itulah yang saya takutkan. Mana ada yang gratis dizaman krisis seperti sekarang ini. Seminar ini memang gratis mulanya, tapi ujung-ujungnya kita harus membayar juga. Memang tdak pakai uang tapi pakai suara kita. Hak pilih kita yang harus dipakai membayarnya. Itu kan namanya pemaksaan secara halus. Dan kamu tahu sendiri kan? Saya orangnya ndak suka dipaksa-paksa. Jadi, maaf saja. Saya ndak jadi ikut.”
Pak Rangrang hanya melongo lalu pergi menghilang di balik pintu ruangan guru yang mulai ramai. Rupanya hari ini ada kabar heboh lagi. Sejurus kemudian, ruangan guru pun betul-betul ramai. Keramaian itu jadi sedikit dramatis ketika seekor semut merah yang baru menjadi guru tiba-tiba dipanggil ikut kompetisi mendapatkan gula-gula sertifikasi. Guru-guru lain yang merasa lebih profesional sontak jadi heran, gelisah, gerem hingga gemes. Sementara guru muda yang dipanggil ikut kompetisi dan dinyatakan lulus makin bertingkah dengan angan-angannya mendapatkan tunjangan satu kali gaji pokok. Dunia semut pun dipenuhi gosip di sana-sini. Ada yang menyangka si guru muda yang cantik dan bahenol main mata dengan sang penentu kebijakan. Ada juga yang bilang kalau si cantik lulus karena punya om bos. Ada pula yang berpikiran negatif dan bahkan lebih negatif dari yang negatif dengan menuduh si cantik jadi istri simpanan salah seorang penentu kebijakan/penguasa di daerah ini.
”Pak, mauki masuk Pak?” ketua kelas 3 menyeruak dari kerumunan para guru yang sedang rapat akbar dengan tema ”sertifikasi dini”. Rupanya bel dari tadi berbunyi. Sudah jam kelima. Artinya waktuku sekarang mengajar di kelas X. Dengan anggukan kecil, siswa yang baru terpilih menjadi ketua kelas itu, menghilang dari pandanganku. Segera kuambil Notebook dan Proyektor dari lemari di belakangku. Aku berjalan tenang cenderung agak tergesa menghindari tatapan guru lainnya yang membuat beban bawaanku kian berat.
”Anak-anak, hari ini Bapak membawa oleh-oleh buat kalian.”
”Wah, asyik dong Pak. Apa sih ole-olenya?”
Kuliat siswa lainnya tambah semangat ingin tahu ole-ole yang kumaksud. Segera saja kutampilkan slide komposisi wajah. Siswa pun berebutan menjawab setiap pertanyaan yang meminta karakteristik wajah setiap siswa. Tidak lama kemudian tampillah wajah serem dan lucu yang membuat siswa tertawa terpingkal-pingkal. Tiba-tiba aku merasa terganggu oleh banyaknya siswa yang mengintip di jendela dan pintu kelas. Katanya mereka tidak belajar karena gurunya tidak masuk. Aku jadi heran, kok tidak masuk kelas padahal tadi guru yang dimaksud ada di ruang guru.
”Kita dikasih tugas mencatat Pak.” siswa yang kelasnya disebelah kanan memberikan keterangan. Berarti di antara ruang kelas pada deretan kelas yang saya tempati mengajar, hanya kelas saya saja siswanya belajar. Pasti guru yang lain sibuk bikin portofolio atau melengkapi dokumen portofolionya. Ternyata sertifikasi memiliki dampak yang serius terhadap pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas. Ini pantas dijadikan judul karya tulis. Betul, hal ini akan saya coba tulis untuk pengembangan profesi guru. Mudah-mudahan tidak ditolak karena tidak mengandung upaya peningkatan hasil belajar, seperti teman saya yang sudah habis-habisan mengirim karya tulis namun selalu ditolak dan belum bisa memenuhi unsur pengembangan profesinya untuk pindah golongan ke IV/b.
Kenapa pula harus ke IV/b? Bukankah gaji guru yang lulus sertifikasi jauh lebih tinggi daripada golongan IV/b? Bukankah hidup ini hanya diukur dengan uang saja. Mana kegiatan yang banyak mendatangkan uang itulah yang dilaksanakan. Mana daerah yang banyak mendatangkan rezeki, itulah yang ramai didatangi. Jadi, tidak kelirulah kalau dikatakan ada gula ada semut. Ada uang ada teman. Tidak ada uang, teman ada tapi hanya tinggal nama.
”Pak, kelas yang di sebelah saya kok tidak belajar padahal guru yang punya vak disitu ada.”
”Saya sudah tanya, katanya dia memakai metode CBSA.”
”CBSA, tapi kok tidak masuk kelas?”
”Itulah Pak. Ternyata CBSA itu artinya bagi dia, Catat Buku Sampai Abis.”
”Hah,...begitu ya? Trus... guru ybs kemana?
”Biasa, ikut seminar.”
”Waduh, kalu begini berarti tujuan pemerintah untuk meningkatkan profesionalisme guru melalui sertifikasi, ternyata meleset 180 derajat. Buat apa guru ikut terus seminar kalau siswanya ditinggalkan. Apa benar kalau sudah ikut seminar bisa bertambah profesional?”
”Wah, kalau yang itu, saya juga sangsi Pak. Buktinya, saya sudah lebih sepuluh kali ikut seminar tapi tak ada satupun yang saya bisa implementasikan di kelas. Makanya saya sekarang lagi malas ikut seminar. Kalau nanti saya tidak lulus sertifikasi gara-gara kurang banyak ikut seminar, ya saya akan protes itu Pak.”
”Protes pakai apa? Emang kamu punya banyak modal buat ke mahkamah?”
”Ya, minimal protes lewat tulisanlah.”
”Ha..ha....ha....kamu memang guru yang profesional. Setidaknya profesional dalam menghasilkan tulisan yang bisa menyindir.”
”Akh, jangan nyindir begitu dong pak. Gini-gini, tulisan saya sudah banyak dimuat dimajalah lho pak.”
***************
Sudah satu minggu lebih pak Slamet mendekam di balik jeruji besi.. Kasihan dia, gara-gara tulisannya di internet dia harus menginap di rumah tahanan. Dia dikena sanksi pencemaran nama baik. Jadilah pak Slamet mendekam di balik jeruji besi selama 6 tahun. Konon kabarnya hukuman itu bertambah karena dikaitkan dengan Undang-Undang penyalahgunaan teknologi informasi.
Sebenarnya pak Slamet tidak harus dipenjara seandainya ada yang bersedia menjadi pembelanya. Tapi, ya mau apalagi. Yang namanya pembela tentu harus dibayar dengan bayaran yang tinggi dan pak Slamet jelas tidak mampu untuk hal itu. Gaji pak Slamet yang lebih dua juta tinggal seperduanya setelah mendapat potongan bank, koperasi, dan kreditan lainnya. Meski beberapa siswa sudah melakukan demonstrasi minta pembebasan pak Slamet, namun pihak yang berkompeten tidak juga menggubrisnya. Padahal, tulisan pak Slamet itu hanya sekadar ungkapan perasaan mengenai nasib dia dan rekan-rekannya yang tak kunjung mendapat jatah sertifikasi.
Rumah pak Slamet yang dulu ramai dikunjungi teman-teman yang ingin memiliki karya tulis untuk portofolio, kini sepi sesepi hati pak Slamet menyendiri di balik jeruji besi. Tidak ada lagi kunjungan dari rekan-rekannya yang dulu sering minta bantuannya. Istri dan anak-anaknya pun jarang datang dengan alasan tidak punya ongkos.
Sekolah mendadak ramai ketika beberapa guru yang mendapat jatah sertifikasi mengadakan syukuran. Hanya pak Slamet yang tampak tidak bergairah makan. Meskipun ia mendapat penangguhan tahanan, namun tetap sebagai tahanan kota. Badannya yang dulu kurus kini tambah kurus. Kumis dan janggotnya tambah lebat menutupi mulut yang dulu riang bercerita. Hanya sinar matanya yang masih menampakkan cahaya kehidupan. Melaksanakan tugasnya pun sudah tidak seperti yang dulu. kalau ia datang pagi-pagi, kerjanya hanya duduk mengutak-atik laptopnya hingga jam pulang tiba. Hanya satu yang tidak berubah yaitu kebiasaannya menulis. Seperti hari itu ketika rekan-rekan seprofesinya sibuk makan dan ketawa-ketiwi, ia tetap asyik dengan tuts-tuts di keyboard laptop. Mungkin menulis sesuatu yang orang lain belum boleh tahu. kalau ada yang mendekat, ia langsung menutup laptopnya sambil menghisap rokoknya dalam-dalam. Bicara pun tidak pernah. hanya anggukan dan senyuman kecil yang kerap terlihat dari dirinya. Dari sorot matanya terlihat sebuah bara dendam memancar. Hal itu nyata terlihat ketika dia sedang melanjutkan tulisannya. ”Semoga tulisan kali ini tidak membuatku harus masuk sel lagi meski isinya agak sedikit menyerempet masalah kinerja aparat dan birokrai yang jauh dari ila kelima Pancasila”. Harapan itu dilontarkan Pak Slamet ketika pak Rangrang duduk di sampingnya, tepat satu minggu lalu, dan bertepatan ketika hari ini pak Slamet dinyatakan bersalah dalam hal pencemaran nama baik hingga ia divonis 5 tahun tambah denda Rp 1 miliar. Kami rekan seprofesinya tak kuasa mendengar dan menerima vonis itu, lebih-lebih pak Slamet yang tidak mampu berkata apa-apa lagi mendengar vonis yang dijatuhkan kepadanya hingga ia pingsan dan dilarikan ke rumah sakit.

Tidak ada komentar: